Kamis, 30 Agustus 2012

PERSPEKTIF KANIBALISME ATAS PEMBANTAIAN ORANG UTAN DI KALIMANTAN





Kanibalisme, kata yang tidak dapat sembarangan dikutip karena pengertiannya yang menggambarkan sadisme dalam ukuran norma kemanusiaan. Kanibal berasal dari ungkapan bangsa Spanyol ‘Caniba’ yang artinya orang dari karibia, dimana saat itu bangsa yang mengarungi laut untuk mencari tanah jajahan itu menemukan suatu bentuk kebudayaan masyarakat yang kanibal disana. Kanibal artinya adalah memakan sesama jenis sendiri. Banyak hewan yang memiliki pola kanibal untuk bertahan hidup seperti ikan lele, kucing, kelinci, komodo dan ikan piranha bahkan pada beberapa spesies burung hal ini juga terjadi. Kanibal tidak terkelompok pada spesies makhluk hidup tertentu, tetapi menyebar meliputi reptil, amphibi,  pisces, aves, dan bahkan mamalia yang dianggap memiliki kontrol sosial yang lebih rumit dibandingkan kelompok makhluk hidup lainnya. Pada beberapa kebudayaan kanibalisme dianggap lazim dan bahkan beberapa kasus masih dapat ditemukan di zaman modern ini.
Kanibal di alam liar adalah suatu keadaan dimana tindakan ini harus diambil untuk mempertahankan hidup walaupun secara ekstrim. Pada hewan hal ini dapat dimaklumi karena otak yang dimilikinya didesain untuk mematangkan insting dalam mempertahankan diri, mengembangkan spesies dan melindungi keberlangsungan populasi. Hal inilah yang terutama membuat induk kucing mampu memakan anaknya yang dirasakan memiliki kondisi cacat sehingga memberi kesempatan kepada anak lain yang sehat untuk memperoleh makanan dan perhatian yang lebih baik. Induk kelinci yang kekurangan pakan saat hamil dan depresi atas ancaman pejantan atau predator juga akan memakan bayinya sendiri sebagai bahan makanan tambahan untuk bertahan hidup.
Pada manusia, otak berkembang secara lebih kompleks dimana selain mengembangkan insting bertahan hidup di area batang otak, manusia memiliki area limbik yang membungkus batang otak. Area limbik ini berfungsi untuk mengatur emosi, keseimbangan hormon, ingatan dan metabolisme serta sebagai pusat kesenangan. Selain itu, manusia dibedakan atas spesies lainnya karena memiliki neokorteks ( otak berfikir ) yaitu bagian otak yang mengelola informasi dari panca indera, kreasi dan berpikir, serta proses intelegensia lainnya. Proses intelegensia inilah yang pada masyarakat modern dilatih untuk mengendalikan nafsu dan emosi.  Tidak salah bila dalam setiap ajaran agama disebutkan bahwa manusia berbeda dari makhluk lainnya karena memiliki akal pikiran. Dengan akal pikiran ini manusia mengembangkan dirinya untuk tetap bertahan hidup. Oleh karena itu pada manusia, kanibalisme lebih didasarkan pada hasil pengolahan informasi tertentu dari proses intelegensia yang bersifat subjektif dan bukan sebagai langkah pertama dari insting sebagaimana yang terjadi pada hewan. Pada suku – suku kuno, memakan daging musuh baik secara hidup – hidup ataupun setelah mati dianggap akan membuat kekuatan musuh tersebut berpindah kepada mereka. Ada juga yang terdorong untuk memperoleh rasa aman karena dengan memakan tubuh musuh atau orang yang dibenci maka seolah dendam kesumat akan terbalaskan dan mereka akan dapat melanjutkan hidup dengan tenang. Tetapi tak jarang itu hanyalah suatu penyimpangan psikologis dimana kanibalisme dapat saja terjadi atas orang lain yang tak dikenal hanya karena dorongan nafsu maupun ritual sesat.
Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh persepsinya atas sesuatu hal. Termasuk persepsi atas kanibalisme. Persepsi adalah makna – makna yang berasal dari suatu proses pemikiran atas suatu fakta dan terjadi proses pembenaran atas perilaku tertentu. Persepsi bersifat subjektif karena memandang segala sesuatu yang menjadi objek pemuasan kebutuhannya berdasarkan sudut pandang subjek (diri sendiri). Masing – masing orang memandang suatu fakta secara berbeda meskipun fakta yang dihadapi adalah sama dan ini akan menghasilkan perilaku yang berbeda pula.
Fakta atas jumlah orangutan yang terancam punah adalah fakta yang konkrit namun bisa menimbulkan persepsi yang berbeda. Bagi para aktivis lingkungan hidup hal ini adalah luar biasa kejam mirip perkara genosida (pembunuhan massal untuk menghabisi suatu ras atau suku). Dengan persepsi ini mereka melakukan kecaman dan protes keras serta menuntut dilakukannya tindakan hukum atas pelaku pembunuhan orangutan. Pemerintah menanggapi fakta atas berkurangnya populasi orangutan sebagai suatu konsekuensi pembangunan dan berupaya mendirikan pusat konservasi sebagai tindakan penyelamatan.. Sementara para petani dipinggir hutan, pemilik perkebunan sawit atau pemburu ilegal memiliki persepsi yang jauh berseberangan atas fakta ini. Orangutan bagi mereka hanyalah sesosok hewan yang menjadi hama bagi tanaman mereka dan dapat dijadikan sumber tambahan nafkah pula. Dan dengan persepsi itu, bagi mereka membunuh orangutan adalah tindakan yang sangat wajar dilakukan. Dapat dilihat bahwa tiap orang melihat secara subjektif suatu fakta dan tiap perilaku yang dihasilkan dari persepsi tersebut memiliki pembenaran untuk dilakukan.
Otak manusia yang meliputi perkembangan kompleks dari komponen insting, emosi dan pusat intelegensia akan selalu memproses suatu fakta berdasarkan pemenuhan kebutuhan diri agar tetap bertahan hidup. Pada situasi dimana manusia berada dalam kondisi yang sulit dalam pemenuhan kebutuhan pokok, terpisah dari ikatan sosial sebelumnya, dan berada di wilayah yang baru dan berbahaya maka otak mereka akan terlatih untuk mengembangkan insting mempertahankan diri, wilayah dan keluarga. Bila terjadi konflik dengan orangutan maka otak manusia yang telah mempunyai perspektif bertahan hidup tidak memiliki jalan lain selain mengambil langkah pembunuhan atas hewan ini.
Konservasi juga bukanlah merupakan jalan keluar yang tepat. Karena setelah direhabilitasi maka orangutan akan dilepas lagi ke alam liar. Dan siapa yang dapat menjamin bahwa dorongan untuk  mencari makanan tidak akan membuatnya berkunjung ke lahan perkebunan lagi? Orangutan yang telah direhabilitasi juga menjadi biasa dengan keberadaan manusia sehingga pertahanan dirinya menjadi kendor.
Saya tak dapat menyatakan secara pasti apakah pembantaian orangutan di Kalimantan yang baru-baru ini menghebohkan media massa dapat dikatakan sebuah tindakan kanibalisme. Tetapi fakta yang mengejutkan dari sebuah penelitian yang menyatakan bahwa orangutan memiliki pikiran dan perilaku yang sama dengan anak manusia berumur 2 tahun dan mereka memiliki kemiripan gen hingga 97% dengan manusia. Tindakan membunuh orangutan saya rasa sama dengan tindakan membunuh anak berusia 2 tahun. Ada sebuah persamaan matematika dimana a + b = c dan bila c = d + e maka a + b = d + e atau sebaliknya. Bila orangutan memiliki kesamaan dengan anak manusia umur 2 tahun maka tindakan membunuh (dan bahkan memakan daging orangutan) menurut persepsi saya rasa bisa disamakan dengan tindakan membunuh dan memakan anak manusia umur 2 tahun. Dan ini adalah sebuah tindakan kanibalisme.
Dapatkah kita menyusun perspektif yang baru atas pembunuhan orangutan ini ? Masalah ini bukan hanya mengenai lingkungan hidup tetapi lebih kepada kemerosotan standar sosial dari kebudayaan manusia. Manusia yang membantai orangutan juga korban kanibalisme dari kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil sehingga untuk mempertahankan diri mereka harus meng-kanibalisme spesies dibawah evolusinya.. Merubah perspektif adalah hal yang sulit namun bukannya tidak mungkin. Bila saja pemerintah dapat menciptakan situasi yang kondusif bagi rakyat kecil untuk dapat bertahan hidup tanpa harus mengeksploitasi alam baik lahan maupun makhluk hidup yang bernaung dibawahnya maka kanibalisme terhadap orangutan dapat dieliminir. Namun bila tidak segera ditangani dengan serius maka orangutan lah yang akan menanggung konsekuensinya.

Orangutan dengan segala keterbatasannya sebagai hewan  juga termasuk makhluk yang cukup maju dalam hubungan sosialnya. Mirip seperti manusia mereka memiliki struktur sosial dimana induk dan orangutan dewasa akan melindungi bayinya mati-matian. Mereka juga termasuk makhluk yang ramah dan mudah bersosialisasi. Hanya saja mereka tidak memiliki akal pikiran yang cukup untuk menghindari manusia yang akan mengambil nyawa mereka. Mulailah menganalisa fakta ini dan ambillah perspektif dengan sisi kemanusiaan dan intelegensi kita sebagai manusia. Bila dinosauraus punah karena meteor maka orangutan akan punah karena menjadi korban kanibalisme dari makhluk yang berevolusi diatasnya yaitu manusia. Dan sebagai makhluk hidup yang berevolusi lebih maju maka selayaknya kita mengerahkan segala kemampuan untuk melindungi makhluk hidup lainnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar