Kanibalisme, kata yang tidak
dapat sembarangan dikutip karena pengertiannya yang menggambarkan sadisme dalam
ukuran norma kemanusiaan. Kanibal berasal dari ungkapan bangsa Spanyol ‘Caniba’
yang artinya orang dari karibia, dimana saat itu bangsa yang mengarungi laut
untuk mencari tanah jajahan itu menemukan suatu bentuk kebudayaan masyarakat
yang kanibal disana. Kanibal artinya adalah memakan sesama jenis sendiri.
Banyak hewan yang memiliki pola kanibal untuk bertahan hidup seperti ikan lele,
kucing, kelinci, komodo dan ikan piranha bahkan pada beberapa spesies burung
hal ini juga terjadi. Kanibal tidak terkelompok pada spesies makhluk hidup
tertentu, tetapi menyebar meliputi reptil, amphibi, pisces, aves, dan bahkan mamalia yang dianggap
memiliki kontrol sosial yang lebih rumit dibandingkan kelompok makhluk hidup
lainnya. Pada beberapa kebudayaan kanibalisme dianggap lazim dan bahkan
beberapa kasus masih dapat ditemukan di zaman modern ini.
Kanibal di alam liar adalah
suatu keadaan dimana tindakan ini harus diambil untuk mempertahankan hidup
walaupun secara ekstrim. Pada hewan hal ini dapat dimaklumi karena otak yang
dimilikinya didesain untuk mematangkan insting dalam mempertahankan diri,
mengembangkan spesies dan melindungi keberlangsungan populasi. Hal inilah yang
terutama membuat induk kucing mampu memakan anaknya yang dirasakan memiliki
kondisi cacat sehingga memberi kesempatan kepada anak lain yang sehat untuk
memperoleh makanan dan perhatian yang lebih baik. Induk kelinci yang kekurangan
pakan saat hamil dan depresi atas ancaman pejantan atau predator juga akan
memakan bayinya sendiri sebagai bahan makanan tambahan untuk bertahan hidup.
Pada manusia, otak
berkembang secara lebih kompleks dimana selain mengembangkan insting bertahan
hidup di area batang otak, manusia memiliki area limbik yang membungkus batang
otak. Area limbik ini berfungsi untuk mengatur emosi, keseimbangan hormon,
ingatan dan metabolisme serta sebagai pusat kesenangan. Selain itu, manusia
dibedakan atas spesies lainnya karena memiliki neokorteks ( otak berfikir )
yaitu bagian otak yang mengelola informasi dari panca indera, kreasi dan
berpikir, serta proses intelegensia lainnya. Proses intelegensia inilah yang
pada masyarakat modern dilatih untuk mengendalikan nafsu dan emosi. Tidak salah bila dalam setiap ajaran agama
disebutkan bahwa manusia berbeda dari makhluk lainnya karena memiliki akal
pikiran. Dengan akal pikiran ini manusia mengembangkan dirinya untuk tetap
bertahan hidup. Oleh karena itu pada manusia, kanibalisme lebih didasarkan pada
hasil pengolahan informasi tertentu dari proses intelegensia yang bersifat
subjektif dan bukan sebagai langkah pertama dari insting sebagaimana yang
terjadi pada hewan. Pada suku – suku kuno, memakan daging musuh baik secara
hidup – hidup ataupun setelah mati dianggap akan membuat kekuatan musuh
tersebut berpindah kepada mereka. Ada juga yang terdorong untuk memperoleh rasa
aman karena dengan memakan tubuh musuh atau orang yang dibenci maka seolah
dendam kesumat akan terbalaskan dan mereka akan dapat melanjutkan hidup dengan
tenang. Tetapi tak jarang itu hanyalah suatu penyimpangan psikologis dimana
kanibalisme dapat saja terjadi atas orang lain yang tak dikenal hanya karena
dorongan nafsu maupun ritual sesat.
Perilaku manusia sangat
dipengaruhi oleh persepsinya atas sesuatu hal. Termasuk persepsi atas
kanibalisme. Persepsi adalah makna – makna yang berasal dari suatu proses
pemikiran atas suatu fakta dan terjadi proses pembenaran atas perilaku
tertentu. Persepsi bersifat subjektif karena memandang segala sesuatu yang
menjadi objek pemuasan kebutuhannya berdasarkan sudut pandang subjek (diri
sendiri). Masing – masing orang memandang suatu fakta secara berbeda meskipun
fakta yang dihadapi adalah sama dan ini akan menghasilkan perilaku yang berbeda
pula.
Fakta atas jumlah orangutan
yang terancam punah adalah fakta yang konkrit namun bisa menimbulkan persepsi
yang berbeda. Bagi para aktivis lingkungan hidup hal ini adalah luar biasa
kejam mirip perkara genosida (pembunuhan massal untuk menghabisi suatu ras atau
suku). Dengan persepsi ini mereka melakukan kecaman dan protes keras serta
menuntut dilakukannya tindakan hukum atas pelaku pembunuhan orangutan.
Pemerintah menanggapi fakta atas berkurangnya populasi orangutan sebagai suatu
konsekuensi pembangunan dan berupaya mendirikan pusat konservasi sebagai
tindakan penyelamatan.. Sementara para petani dipinggir hutan, pemilik
perkebunan sawit atau pemburu ilegal memiliki persepsi yang jauh berseberangan
atas fakta ini. Orangutan bagi mereka hanyalah sesosok hewan yang menjadi hama
bagi tanaman mereka dan dapat dijadikan sumber tambahan nafkah pula. Dan dengan
persepsi itu, bagi mereka membunuh orangutan adalah tindakan yang sangat wajar
dilakukan. Dapat dilihat bahwa tiap orang melihat secara subjektif suatu fakta
dan tiap perilaku yang dihasilkan dari persepsi tersebut memiliki pembenaran
untuk dilakukan.
Otak manusia yang meliputi
perkembangan kompleks dari komponen insting, emosi dan pusat intelegensia akan
selalu memproses suatu fakta berdasarkan pemenuhan kebutuhan diri agar tetap
bertahan hidup. Pada situasi dimana manusia berada dalam kondisi yang sulit
dalam pemenuhan kebutuhan pokok, terpisah dari ikatan sosial sebelumnya, dan
berada di wilayah yang baru dan berbahaya maka otak mereka akan terlatih untuk
mengembangkan insting mempertahankan diri, wilayah dan keluarga. Bila terjadi
konflik dengan orangutan maka otak manusia yang telah mempunyai perspektif bertahan
hidup tidak memiliki jalan lain selain mengambil langkah pembunuhan atas hewan
ini.
Konservasi juga bukanlah
merupakan jalan keluar yang tepat. Karena setelah direhabilitasi maka orangutan
akan dilepas lagi ke alam liar. Dan siapa yang dapat menjamin bahwa dorongan
untuk mencari makanan tidak akan membuatnya
berkunjung ke lahan perkebunan lagi? Orangutan yang telah direhabilitasi juga
menjadi biasa dengan keberadaan manusia sehingga pertahanan dirinya menjadi
kendor.
Saya tak dapat menyatakan
secara pasti apakah pembantaian orangutan di Kalimantan yang baru-baru ini
menghebohkan media massa dapat dikatakan sebuah tindakan kanibalisme. Tetapi
fakta yang mengejutkan dari sebuah penelitian yang menyatakan bahwa orangutan
memiliki pikiran dan perilaku yang sama dengan anak manusia berumur 2 tahun dan
mereka memiliki kemiripan gen hingga 97% dengan manusia. Tindakan membunuh
orangutan saya rasa sama dengan tindakan membunuh anak berusia 2 tahun. Ada
sebuah persamaan matematika dimana a + b = c dan bila c = d + e maka a + b = d
+ e atau sebaliknya. Bila orangutan memiliki kesamaan dengan anak manusia umur
2 tahun maka tindakan membunuh (dan bahkan memakan daging orangutan) menurut
persepsi saya rasa bisa disamakan dengan tindakan membunuh dan memakan anak
manusia umur 2 tahun. Dan ini adalah sebuah tindakan kanibalisme.
Dapatkah kita menyusun
perspektif yang baru atas pembunuhan orangutan ini ? Masalah ini bukan hanya
mengenai lingkungan hidup tetapi lebih kepada kemerosotan standar sosial dari
kebudayaan manusia. Manusia yang membantai orangutan juga korban kanibalisme
dari kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil sehingga untuk
mempertahankan diri mereka harus meng-kanibalisme spesies dibawah evolusinya..
Merubah perspektif adalah hal yang sulit namun bukannya tidak mungkin. Bila
saja pemerintah dapat menciptakan situasi yang kondusif bagi rakyat kecil untuk
dapat bertahan hidup tanpa harus mengeksploitasi alam baik lahan maupun makhluk
hidup yang bernaung dibawahnya maka kanibalisme terhadap orangutan dapat
dieliminir. Namun bila tidak segera ditangani dengan serius maka orangutan lah
yang akan menanggung konsekuensinya.
Orangutan
dengan segala keterbatasannya sebagai hewan
juga termasuk makhluk yang cukup maju dalam hubungan sosialnya. Mirip
seperti manusia mereka memiliki struktur sosial dimana induk dan orangutan
dewasa akan melindungi bayinya mati-matian. Mereka juga termasuk makhluk yang
ramah dan mudah bersosialisasi. Hanya saja mereka tidak memiliki akal pikiran
yang cukup untuk menghindari manusia yang akan mengambil nyawa mereka. Mulailah
menganalisa fakta ini dan ambillah perspektif dengan sisi kemanusiaan dan
intelegensi kita sebagai manusia. Bila dinosauraus punah karena meteor maka
orangutan akan punah karena menjadi korban kanibalisme dari makhluk yang
berevolusi diatasnya yaitu manusia. Dan sebagai makhluk hidup yang berevolusi
lebih maju maka selayaknya kita mengerahkan segala kemampuan untuk melindungi
makhluk hidup lainnya.